Dibalik Sajak ( Bahagia )




BAHAGIA

Bahagia......
Siapa sebenarnya dirimu?
Bagaimanakah wujudmu?
Mengapa engkau begitu diimpikan oleh setiap orang?

Bahagia......
Dalam benakku, ku coba berpikir keras tentangmu
Seperti apakah engkau?
apakah jika aku tertawa, itu merupakan wujudmu?



Setiap orang pada dasarnya menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya, itu merupakan hal mutlak. Tapi terkadang dalam meraih kebahagiaan itu selalu saja ada halangan dan rintangan. tak banyak orang yang meraih kebahagiaannya dengan cara berderai air mata dan adapula yang mendapatkannya dengan mudah. Itu semua tergantung dari setiap individu mempersepsikan seperti apa kebahagiaan itu karena pada hakikatnya konsep bahagia setiap orang itu berbeda. ada yang merasa bahagia hanya karena hal kecil seperti siswa yang berhasil lulus ujian meskipun tidak dengan nilai yang memuaskan tetapi ada juga yang menganggap kebahagiaan itu ketika berhasil lulus ujian dan mendapat nilai A. Intinya kebahagiaan itu merujuk pada tingkat kepuasan seseorang. 
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa seseorang itu tidak pernah merasa bahagia diantaranya :
1. Tidak pernah bersyukur. Orang yang selalu mengeluh dan tidak pernah merasa puas atas apa yang didapatkannya merupakan salah satu faktor penyebab tidak adanya rasa bahagia.
2. Tidak pernah ikhlas. Apapun yang dilakukannya selalu mengharapkan balasan sehingga ketika balasan itu tak ia dapatkan maka akan muncul rasa marah dan tidak terima.
3. Mengidap penyakit hati. Penyakit hati disini bukanlah penyakit dengan gangguan hati seperti hepatitis ataupun hepatomegali (pembesaran hati) tetapi penyakit yang dimaksud yaitu iri, dengki, riya', dendam dan berburuk sangka. Orang yang dengan penyakit hati selalu merasa gelisah dan tidak tenang sehingga tidak puya waktu untuk membuat dirinya bahagia.

Dan masih banyak lagi faktor yang bisa membuat seseorang tidak merasa bahagia. Jadi mari kita ciptakan kebahagiaan kita dengan tidak memiliki sifat-sifat seperti diatas, syukuri apa yang telah kita dapatkan sekecil apapun itu.

 " Saat kita mengungkapkan rasa syukur kita, kita tidak boleh lupa bahwa penghargaan tertinggi bukanlah pada kata-kata, tetapi bagaimana menerapkannya dalam hidup "
Jhon F. Kennedy


" They say a person needs just three things to be truly happy in this world : Someone to love, something to do and something to hope for  " 
Tom Bodett




#mRNA


Sistemic Lupus Erythematosus



A.    Pengertian
      SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. (Soeparman, 1987)
Oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh, SLE merupakan prototype penyakit autoimun multisistem yang ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinik.

HIPERSENSITIVITAS


 
A.    PENGERTIAN HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas (atau reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal.
Hipersensitivitas  atau biasa juga disebut  alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik(antigenik).
B.     KLASIFIKASI HIPERSENSITIVITAS
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1.                                   Tipe I hipersensitif anafilaktik,
2.                                    tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,
3.                                    tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan
4.                                    tipe IV hipersensitif delayed type (hipersensitif tipe lambat).
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1.      Hipersensitivitas Tipe I ( Reaksi Anfilaktik)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B memerlukan waktu umtuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan pelepasan secara mendadak mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator  primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan  peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) dan protein ( sitokin dan enzim) yang akan timbul berperan pada fase lambat dari reaksi anfilaktik tersebut.
v  Faktor pemicu reaksi Alergi/hipersensitivitas 1
·      Defisiensi sel T. Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE.
·       Mediator feedback. Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2O oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi penahan sel T oleh histamin akan meningkatkan IgE.
·      Faktor lingkungan. Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respon IgE.

v  Manifestasi Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya penisilin) secara sistemik (parental)menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik ( syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur  pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2.      Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
 Adapun mekanisme reaksi dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut:
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:
·      Fragmen komplemen yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.
·      Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag,neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan seltarget secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk selyang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yangmemiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K).
·      Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel. Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsangfagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk mengikat C1q atau kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel sasaran. Fragmen-fragmen komplemen atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin yang melapisi permukaan sel pejamu atau mikroorganisme, dan fagosit akan menelan partikel-partikel yang diopsonisasi. Dengan meningkatkan aktivitas lisosom dan kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI(reactive oxygen intermediates) misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja meningkatkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan sel sasaran oleh sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan cara sel-sel itu menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.
3.      Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Antigen pada reaksi tipe III, dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
v  Penyebab Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1.    Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2.    Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.    Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1.                Reaksi Arthus
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2.                Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.

3.    Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a)   Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag invitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat yang menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming Factor (SMAF).
b)   Monocyte chemotactic factor
Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.
c)    Skin reactive factor
Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.
d)   Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.
Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.
Hipersensitivitas Tipe IV tidak dapat dipindahkan ke orang lain dengan menyuntikkan serum yang mengandung antibodi. Yang diperlukan untuk pemindahan pasif adalah sel limfosit.
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
Ø Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid.
Ø Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan kromat.
Ø Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan.
Ø Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
C.    PENANGANAN DASAR DAN PROGNOSIS HIPERSENSITIVITAS
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1)   Menghindari alergen
2)   Terapi farmakologis :
v  Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
v  Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamin.
v  Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.
v  Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3)   Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi.
4)   Profilaksis
 Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN pada KLIEN HIPERSENSITIVITAS
1.      Pengkajian
Pengkajian pasien dengan alergi atau hipersensitivitas, diperlukan data dasar yang lengkap. Termasuk riwayat pasien yang lengkap, pemeriksaan fisik, diagnostik test, dan skin test terhadap alergen.
Data dasar meliputi :
·      Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya dan sumber informasi).
·      Identitas Penanggung (nama, Jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien).
         I.          Riwayat Keperawatan meliputi :
1.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
·      Alasan masuk rumah sakit: Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal.
·      Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
2.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
3.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
4.    Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
      II.          Pemeriksaan fisik
a.    Keadaan umum
Tingkat kesadaran GCS
b.    Tanda-tanda vital
Keadaan fisik :
a)    Kepala dan leher
b)   Dada
c)    Payudara dan ketiak
d)   Abdomen
e)    Genitalia
f)    Integument
g)   Ekstremitas

   III.          Pemeriksaan Penunjang
·      Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
·      Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
·      IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
·      Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
·      Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
·      Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).

2.       Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat diambil yaitu :
1.      Pola nafas berhubungan dengan  terpajan allergen.
2.      Hipertermi berhubungan dengan  proses inflamasi
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi dermal,intrademal sekunder
4.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan  cairan berlebih

3.      Rencana Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan  terpajan allergen
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama ….x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
·      Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
·      Pasien tidak merasa sesak lagi
·      Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
·      Tidak terdapat tanda-tanda sianosis.
Intervensi :
1.    Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional :
Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2.    Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional :
Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3.    Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional :
Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian  udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4.    Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional :
Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5.    Berikan oksigen tambahan
Rasioanal :
Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6.    Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasioanal :
Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.
2.    Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada pasien dapat teratasi.

Kriteria hasil :
·       Pasien tidak mengalami diare lagi
·       Pasien tidak mengalami mual dan muntah
·       Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
·       Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1.    Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
Rasional :
Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2.    Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional :
Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane  mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.
3.    Monitor intake dan output  cairan
Rasional :
Mengetahui keseimbangan cairan
4.     Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.
Rasional :
 berguna menurunkan kehilangan cairan
5.    Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional :
pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.

About Me

Foto saya
Seorang pembaca yg bercita-cita ingin jadi penulis ����

Followers