A.
PENGERTIAN
HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas
(atau reaksi hipersensitivitas)
adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan (merusak, menghasilkan
ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal.
Hipersensitivitas atau biasa juga disebut alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik(antigenik).
B.
KLASIFIKASI
HIPERSENSITIVITAS
Menurut Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1.
Tipe I hipersensitif anafilaktik,
2.
tipe
II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi,
3.
tipe III hipersensitif yang diperani kompleks
imun, dan
4.
tipe IV hipersensitif delayed type
(hipersensitif tipe lambat).
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan
Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit.
Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi.
Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1.
Hipersensitivitas Tipe I ( Reaksi Anfilaktik)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi
alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai
alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,disuntik, ataupun kontak
langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I
adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan
berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel
mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi).
Karena sel B memerlukan waktu umtuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama
tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga
10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B
untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit
atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen,
maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel
mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi
menyebakan pelepasan secara mendadak mediator inflamasi primer dan sekunder.
Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta
menstimulasi terjadinya urtikaria,vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas
vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam
arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) dan protein ( sitokin dan enzim) yang
akan timbul berperan pada fase lambat dari reaksi anfilaktik tersebut.
v Faktor
pemicu reaksi Alergi/hipersensitivitas 1
·
Defisiensi sel T. Penurunan jumlah sel T diasosiasikan
dengan peningkatan dari jumlah serum IgE.
·
Mediator feedback. Menurut penelitian, inhibisi
reseptor H2O oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi penahan sel T
oleh histamin akan meningkatkan IgE.
·
Faktor lingkungan. Polutan seperti SO2, NO,
asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga meningkatkan
pemasukkan antigen dan respon IgE.
v Manifestasi
Klinis
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan
sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen
protein atau obat (misalnya penisilin) secara sistemik (parental)menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit
setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,
urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian
atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut,
dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik ( syok
anafilaktik ), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi
lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan
urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru
(inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2.
Hipersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau
Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi
yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen
yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian
kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin
terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi
tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia
hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Adapun
mekanisme reaksi dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut:
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel
atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor
untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel,
antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya
adalah:
·
Fragmen komplemen yang dihasilkan oleh aktivasi
komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus
menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang
menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara
merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim
dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.
·
Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi
C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk
interaksi dengan sel efektor (makrofag,neutrofil) yang membawa reseptor untuk
aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen
setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi
oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan seltarget secara kovalen.
C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk selyang memiliki
reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yangmemiliki
reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K).
·
Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9
yang merupakan Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada
membran sel. Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK,
berikatan pada kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan
komponen komplemen yang melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi
pada reseptor Fc merangsangfagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien
dan prostaglandin yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respon
inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel
sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan
yang tidak sama dalam menginduksi reaksi
ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk mengikat C1q atau
kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel sasaran.
Fragmen-fragmen komplemen atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin yang
melapisi permukaan sel pejamu atau
mikroorganisme, dan fagosit akan menelan partikel-partikel yang diopsonisasi. Dengan
meningkatkan aktivitas lisosom dan kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI(reactive
oxygen intermediates) misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja meningkatkan
kemampuan fagosit untuk menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya
untuk merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan sel
sasaran oleh sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II,
merefleksikan cara sel-sel itu menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.
3.
Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas
kompleks imun.
Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan
terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi
atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi
dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen
(spora
fungi,
bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga
terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru,
sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Antigen pada reaksi tipe III, dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau
dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan
antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang
efektif.
v Penyebab
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering
terjadi, terdiri dari :
1.
Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana
tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2.
Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana
tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.
Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah
antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk
penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi
peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai
hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta
perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga
dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai
menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf
yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein
netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau
histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi
peradangan yang ditimbulkan.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua
bentuk reaksi, yaitu :
1.
Reaksi Arthus
Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan
antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan membentuk kompleks
yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah.
Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang
bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di
tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah.
Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit
yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan
vasoaktif.
2.
Reaksi serum sickness
Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang
menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi
seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing
dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini
biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira
8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu,
pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas,
sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi
komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
3. Hipersensitivitas
Tipe IV
Reaksi tipe
IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih
dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T
yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada
permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat
disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar
seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di
permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang
dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft),
mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan
kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi
sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh
antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena
adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas
terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau
jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa
(leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah
diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit
yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori.
Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan
mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a)
Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini
dapat mengalami migrasi sel makrofag invitro serta mengubah morfologi dan sifat
sel itu menjadi sangat aktif. Zat yang menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage
Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih
efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa
terjadi pada sel tumor dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific
Macrophage Arming Factor (SMAF).
b)
Monocyte chemotactic factor
Sel monosit
akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.
c)
Skin reactive factor
Meninggikan
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.
d)
Faktor lain
Terdapat
pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat
sitotoksik terhadap beberapa sel.
Untuk tipe
IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan
jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus
dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan
rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.
Hipersensitivitas
Tipe IV tidak dapat dipindahkan ke orang lain dengan menyuntikkan serum yang
mengandung antibodi. Yang diperlukan untuk pemindahan pasif adalah sel
limfosit.
Ada 4 jenis
reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
Ø
Hipersensitivitas
Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal
tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh
limfosit yang peka terhadap siklofosfamid.
Ø
Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis
kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat
kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan
reaksi epidermal. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang
perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali
disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan
unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu,
hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat.
Ø
Reaksi Tuberkulin
Reaksi
tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas
infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam
timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen
dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan.
Ø
Reaksi Granuloma
Menyusul
respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi.
Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit,
makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari
inflamasi kronik.
C.
PENANGANAN
DASAR DAN PROGNOSIS HIPERSENSITIVITAS
Penanganan
gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar :
1)
Menghindari alergen
2)
Terapi farmakologis :
v
Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol,
metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ).
v
Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor
di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamin.
v
Kromolin Sodium
Kromolin sodium
adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia
obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.
v
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan
radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3)
Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang
diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat
pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in
vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen
E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama
seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi.
4)
Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat,
sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III
ASUHAN
KEPERAWATAN pada KLIEN HIPERSENSITIVITAS
1.
Pengkajian
Pengkajian
pasien dengan alergi atau hipersensitivitas, diperlukan data dasar yang
lengkap. Termasuk riwayat pasien yang lengkap, pemeriksaan fisik, diagnostik
test, dan skin test terhadap alergen.
Data dasar meliputi :
·
Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber
biaya dan sumber informasi).
·
Identitas Penanggung (nama, Jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan
pasien).
I.
Riwayat Keperawatan meliputi :
1. Riwayat
Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data
yang didapatkan dari klien, meliputi:
·
Alasan masuk rumah sakit: Pasien mengeluh nyeri
perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual
muntah,dan terasa gatal.
·
Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal tertahankan lagi sehingga
pasien dibawa ke rumah sakit.
2. Riwayat
Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji
apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau yang berhubungan
dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan
pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul
kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani
perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
3. Riwayat
Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga
pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
4. Riwayat
Psikososial dan Spiritual
Mengkaji
orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien
terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap
stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia
saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
II.
Pemeriksaan fisik
a.
Keadaan umum
Tingkat
kesadaran GCS
b.
Tanda-tanda vital
Keadaan
fisik :
a)
Kepala dan leher
b)
Dada
c)
Payudara dan ketiak
d)
Abdomen
e)
Genitalia
f)
Integument
g)
Ekstremitas
III.
Pemeriksaan Penunjang
·
Uji kulit : sebagai
pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk,
debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
·
Darah tepi : bila
eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
·
IgE total dan spesifik: harga
normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml
pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi
parasit atau keadaan depresi imun seluler.
·
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
·
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak
sensitif.
·
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan
makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan
limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat diambil yaitu :
1.
Pola nafas berhubungan
dengan terpajan allergen.
2.
Hipertermi berhubungan
dengan proses inflamasi
3.
Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan inflamasi dermal,intrademal sekunder
4.
Kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
3.
Rencana Keperawatan
1. Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan :
Setelah
diberikan askep selama ….x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola nafas
efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria
hasil :
·
Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per
menit)
·
Pasien tidak merasa sesak lagi
·
Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
·
Tidak terdapat tanda-tanda sianosis.
Intervensi :
1. Kaji
frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan, termasuk
pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional :
Kecepatan
biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman
pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas
yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2.
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas
adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional :
Bunyi napas
menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan, bekuan/
kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi
jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan
pasien turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional :
Duduk tinggi
memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan
ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga
memperbaiki difusi gas.
4. Observasi
pola batuk dan karakter secret.
Rasional :
Kongesti
alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5.
Berikan oksigen tambahan
Rasioanal :
Memaksimalkan bernapas dan
menurunkan kerja napas
6.
Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer
ultrasonic
Rasioanal :
Memberikan
kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran secret untuk memudahkan
pembersihan.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
Tujuan :
Setelah
diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan kekurangan volume cairan pada
pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil :
·
Pasien tidak mengalami diare lagi
·
Pasien tidak mengalami mual dan muntah
·
Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi
·
Turgor kulit kembali normal
Intervensi :
1. Ukur dan
pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi
ortostatik.
Rasional :
Peningkatan suhu
atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan
melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan
kekurangan cairan sistemik.
2. Kaji turgor
kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).
Rasional :
Indicator
langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membrane mukosa mulut
mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.
3. Monitor
intake dan output cairan
Rasional :
Mengetahui
keseimbangan cairan
4. Beri obat sesuai indikasi misalnya
antipiretik, antiemetic.
Rasional :
berguna
menurunkan kehilangan cairan
5. Berikan
cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional :
pada adanya
penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki
atau mencegah kekurangan.